
PPI Dunia Tolak Revisi UU TNI: Berpotensi Meruntuhkan Supremasi Sipil
PPI Dunia Tolak Revisi UU TNI: Berpotensi Meruntuhkan Supremasi Sipil
Jakarta – Perhimpunan Pelajar Indonesia (PPI) Dunia menyatakan penolakan terhadap rencana revisi Undang-Undang Tentara Nasional Indonesia (UU TNI). Mereka menilai revisi tersebut berpotensi melemahkan prinsip supremasi sipil yang menjadi fondasi demokrasi Indonesia.
Pernyataan sikap ini disampaikan melalui konferensi pers virtual yang diikuti oleh perwakilan PPI dari 50 negara. Dalam kesempatan itu, PPI Dunia menegaskan bahwa rencana penambahan peran TNI di sektor-sektor sipil harus dikaji secara hati-hati agar tidak menciptakan tumpang tindih kewenangan dengan lembaga lain.
Kekhawatiran Utama: Supremasi Sipil Bisa Terganggu
PPI Dunia mengingatkan bahwa reformasi sektor keamanan pasca-1998 bertujuan untuk memastikan TNI fokus pada pertahanan negara. Jika revisi UU TNI memberikan ruang lebih besar bagi TNI untuk terlibat dalam urusan sipil, ada risiko kembalinya pola dwifungsi seperti era Orde Baru.
“Kita tidak ingin melihat demokrasi mundur. Supremasi sipil harus tetap menjadi pilar utama. Revisi UU TNI yang membuka peluang keterlibatan militer di ranah sipil harus ditolak atau minimal direvisi ulang agar sejalan dengan semangat reformasi,” tegas Ketua PPI Dunia.
Pasal-Pasal yang Dianggap Bermasalah
Sejumlah pasal dalam draf revisi UU TNI yang bocor ke publik dianggap problematik. Misalnya, pasal yang memberi kewenangan TNI terlibat dalam mengamankan kegiatan strategis nasional, mengelola krisis bencana, hingga menangani ancaman non-militer seperti siber dan pandemi.
Menurut PPI Dunia, fungsi-fungsi tersebut sebenarnya sudah diatur di kementerian dan lembaga lain seperti Polri, BNPB, dan BSSN. Jika TNI diberi kewenangan penuh, dikhawatirkan akan terjadi tumpang tindih dan bahkan memperlemah kontrol sipil.
Penolakan Didasarkan pada Prinsip Reformasi
PPI Dunia menegaskan bahwa penolakan mereka bukan bentuk anti-militer. Mereka mengakui peran penting TNI dalam menjaga kedaulatan negara, namun menekankan pentingnya check and balance.
“Kami menghargai dedikasi TNI, tetapi demokrasi hanya akan sehat jika ada batasan yang jelas antara militer dan sipil,” ujar salah satu koordinator PPI kawasan Eropa.
Mereka mengingatkan bahwa konstitusi dan TAP MPR No. VII/MPR/2000 sudah mengatur pemisahan TNI dan Polri dengan tujuan memperkuat negara hukum.
Respon Pemerintah dan DPR
Sementara itu, pemerintah dan DPR masih membahas draf revisi tersebut di tingkat internal. Beberapa anggota parlemen mengklaim revisi UU TNI diperlukan untuk menjawab tantangan zaman, termasuk ancaman hibrida, perang siber, dan gangguan keamanan non-konvensional.
Namun, sejumlah pengamat menilai argumentasi itu tidak cukup kuat untuk memperluas peran TNI secara permanen. Sebaliknya, koordinasi antar-lembaga bisa diperkuat melalui protokol darurat tanpa perlu mengubah UU secara fundamental.
Dukungan dari Akademisi dan Aktivis
Sikap PPI Dunia mendapat dukungan dari sejumlah akademisi dan lembaga masyarakat sipil di Indonesia. Mereka menilai suara mahasiswa di luar negeri penting karena membawa perspektif global mengenai hubungan militer-sipil.
“Di banyak negara demokrasi, keterlibatan militer di sektor sipil sangat dibatasi. Indonesia seharusnya belajar dari praktik terbaik tersebut, bukan malah membuka ruang militerisasi sipil,” ujar seorang pakar hubungan internasional dari salah satu universitas negeri.
Jalan Tengah: Revisi Terbatas dan Partisipatif
PPI Dunia mendorong jika revisi tetap dilakukan, maka harus melibatkan partisipasi publik secara luas. Mereka meminta adanya konsultasi dengan akademisi, organisasi masyarakat sipil, dan pakar hukum tata negara agar hasil revisi tidak menimbulkan kemunduran demokrasi.
“Partisipasi publik adalah kunci. Jangan sampai revisi dilakukan secara tertutup dan melahirkan aturan yang menimbulkan polemik berkepanjangan,” tegas PPI Dunia.
Kesimpulan
Penolakan PPI Dunia terhadap revisi UU TNI menandakan kuatnya kepedulian generasi muda terhadap arah demokrasi Indonesia. Kekhawatiran mereka patut dipertimbangkan serius, mengingat sejarah kelam dominasi militer pada masa lalu.
Perdebatan ini seharusnya menjadi momentum untuk memperkuat prinsip supremasi sipil, memperjelas peran TNI dalam era modern, dan memastikan keseimbangan kekuasaan antara lembaga negara tetap terjaga.
Kunjungi juga situs terbaru